Condet
Sebagai Cagar Budaya
Penetapan
Condet sebagai salah satu cagar budaya Betawi pertama kali dilakukan oleh
Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1974, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK)
Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 tentang Penetapan Condet
sebagai Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. Kemudian disusul SK Gubernur No
D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, gubernur kembali menetapkan Condet
sebagai Daerah Buah-buahan. Keputusan itu berisi penetapan kawasan condet
seluas 18.228 hektar sebagai Cagar Budaya Betawi.Alasan dijadikanya Condet
sebagai cagar budaya Betawi di Jakarta berawal dari adanya keinginan Pemerintah
DKI Jakarta untuk mempertahankan salah satu kantong pertanian di Jakarta Timur.
Untuk
menguatkan komitmen pihak pemerintah juga mengeluarkan beberapa kebijakan
antara lain :
1. Penetapan wilayah Condet yang
dikembangkan secara terbatas, mengingat sebagai daerah penghasil buah-buahan.
2. Penetapan mempertahankan wilayah
Condet sebagai daerah pertanian buah-buahan.
3. Pengaturan
penebangan pohon di wilayah Condet harus seminimal mungkin, dan harus minta
izin sebelumnya.
4. Pelarangan
untuk melakukan mutasi tanah, merubah tata guna tanah termasuk memusnahkan
tanaman khas Condet yaitu salak, duku dan melinjo.
5. Pelarangan untuk mendirikan bangunan
yang melebihi ketentuan koefisien dasar bangunan (RDB) sebesar 20 %.
6. Penetapan bahwa tanaman khas Condet
seperti duren Sitokong dan duku serta Salak sebagai barang langka yang harus di
jaga dari kepunahan.
Selain
itu penetapan Condet sebagai salah satu kawasan cagar budaya Betawi di Jakarta
juga berlandaskan pada adanya peraturan dari Kementerian Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup yang menyebutkan dalam salah satu pasalnya bahwa warisan
budaya merupakan komponen lingkungan yang ingin dipertahankan, dijaga dan
dilestarikan keberadaannya di samping warisan alam. Yang lebih menguatkan dari
semua itu adalah adanya rekomendasi dari badan dunia yang banyak melakukan
rekonstruksi pada warisan-warisan budaya dunia yaitu Unesco pada tahun 1975.
Dalam
rekomendasinya, Unesco meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil
langkah-langkah guna melindungi kota atau desa yang memiliki nilai-nilai
sejarah tinggi termasuk lingkungannya untuk diintegrasikan dalam kehidupan
masyarakat sekarang. Cagar budaya Condet yang dilindungi terdiri dari tiga
kelurahan yaitu kelurahan Batu Ampar seluas 255, 025 hektar yang terdiri dari 4
RW dan 39 RT, kelurahan Balekambang seluas 161, 80 hektar yang terdiri dari 3
RW dan 20 RT, dan kelurahan Kampung Tengah seluas 214, 8 hektar yang terdiri
dari 5 RW dan 29 RT. Batas-batas wilayah cagar Condet itu sendiri, di sebelah
utara berbatasan dengan kelurahan Cililitan, di sebelah timur sebagian besar
berbatasan dengan kelurahan Rambutan, sebelah selatan berbatasan dengan
kelurahan Gedong, dan sebelah barat dipisahkan dengan kelurahan Pasar Minggu
oleh kali Ciliwung. Tiga kelurahan dalam kawasan Cagar Budaya Betawi-Condet
tersebut sebagian besar didominasi oleh adanya lahan atau perkebunan
buah-buahan dan termasuk daerah jalur hijau.
Berdasar
pada kenyataan sejarah ini, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu Ali Sadikin
terdorong untuk kembali melestarikan wilayah Condet. Dengan harapan Condet
tidak saja menjadi lokasi pelestarian suku Betawi berikut dengan seni tradisinya,
tetapi juga bisa menjadi daerah sentra buah-buahan. Tekad Ali Sadikin untuk
melestarikan budaya Betawi diwujudkan dengan berbagai program-program nyata yan
diharapkan bisa mendukung.
Berbagai
sosialisasi mengenai pentingnya melestarikan tradisi budaya, menjaga kawasan
hijau di Jakarta, sampai pada adanya perlindungan pada sejumlah bangunan asli
Betawi pun dilakukan. Pada masa kepemimpinan Ali Sadikin ini, kawasan Condet
termasuk daerah maju, ada anggaran untuk melestarikan budaya Betawi di Condet.
Setiap rumah Betawi diberi dana rehabilitasi dan pemeliharaan, terutama lantai
dasar sebesar Rp 30.000 per bulan. Namun, itu hanya berlangsung singkat.
Sepuluh tahun kemudian, seiring dengan adanya pergantian pemerintahan Ali
Sadikin yang digantikan oleh Gubernur Soeprapto muncul lagi Instruksi Gubernur
DKI Jakarta Nomor 323 Tahun 1985 tentang Penyusunan Konsep Pelaksanaan Daerah
Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Setelah itu, terbit lagi Instruksi Gubernur
No 19/1986 tentang Status Quo Pengembangan Kawasan Condet. Namun, pengembangan
itu berjalan lamban. Bahkan, entitas budaya Betawi mulai memudar. Pada periode
ini wacana tentang revitalisasi cagar budaya Betawi di Condet pun tidak lebih
hanya sekedar slogan pemerintah provinsi semata. Ini terbukti dengan semakin
tidak adanya kejelasan kontiunitas kebijakan sebelumnya yang memberikan dana
rehabilitasi dan pemeliharaan kepada warga Condet. Hal ini diperparah lagi
dengan tidak adanya kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta mengenai
pentingnya mempertahankan situs cagar budaya.
Sekitar
tahun 2001, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memperhatikan perkembangan
budaya Betawi, sebagai budaya asli kota Jakarta. Namun sayang perhatian itu
tidak ditujukan untuk merevitalisasi budaya Betawi di kawasan Condet, melainkan
menetapkan Kelurahan Srengsengsawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
sebagai Perkampungan Budaya Betawi. Kawasan seluas 289 hektar itu ditetapkan
melalui Perda No 3/2005 tentang penetapan perkampungan budaya Betawi. Hingga
saat ini perkampungan budaya Betawi itu masih menjadi perhatian Pemprov DKI
Jakarta.
Perlindungan
Cagar Budaya Betawi-Condet hanya memiliki kekuatan di tingkat perda, tetapi
pemerintah provinsi sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk melarang
warga menjual tanah milik mereka. Sehingga seiring jaman, pertumbuhan kawasan
Condet sulit dikendalikan. Rumah-rumah modern, kios, bengkel,warung, restoran,
toko, hingga mini market tumbuh berjamur. Kebun dan kawasan hijau berkurang
drastis. Akibatnya, tidak terdengar lagi Condet sebagai penghasil duku dan
salak. Kawasan Condet hampir tidak berbeda dengan pemukiman-pemukiman lain.
Padat dan hiruk pikuk. Penduduknya pun lebih banyak pendatang ketimbang orang
Betawi asli. Sebetulnya kritisnya kawasan ini sudah dideteksi pemprov DKI sejak
bertahun-tahun lalu. Sesuai Peraturan Daerah No. 7 tahun 1991, setiap rumah
yang dibangun dikawasan khusus seperti Condet, maka bentuk bangunannya harus
sesuai dengan ciri khas kawasan. Berhubung sudah terlanjur dan tidak mungkin
membuat Cagar Budaya di lokasi yang sama, akhirnya Cagar Budaya Betawi dipindah
ke Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jagakarsa.Seiring dengan waktu, makin
banyak pendatang masuk ke Condet, termasuk warga keturunan Arab yang hijrah
besar-besaran dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat.
Alwi
Shahab, penulis dan pemerhati sejarah yang juga keturunan Arab, pernah
mengatakan, pada tahun 1950-an sekitar 95 persen penduduk Pekojan masih
keturunan Arab. Mereka lalu berpindah tempat ke Condet, juga Jatinegara dan
Tanah Abang. Kini, di Condet bahkan menjamur tempat penampungan TKI yang
dikelola warga keturunan Arab. Jumlah penduduk Kelurahan Batu Ampar saat ini
mencapai 33.582 orang, Kampung Tengah lebih dari 25.000 jiwa, sedangkan
penduduk Bale Kambang berjumlah 19.653 jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk
Bale Kambang pada tahun 1976 yang hanya 4.564 jiwa , Batu Ampar 9.262 jiwa, dan
Kampung Tengah 8.162 jiwa.
Pada
awalnya banyak masyarakat yang optimistis Condet bakal menjadi trade mark
Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu,
Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet kaya akan
kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul
putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon.
Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak.Pohon duku
di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir
saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan
kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon
yang "dihinggapi manusia".
Rumah
asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang
(bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan
bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi
muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di
lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur. Di antara tiga
kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat
fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang
para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan
gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye
orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka
"terlarang" buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus
siap-siap bangkrut.
Untuk
menunjang program pelestarian budaya Betawi dibutuhkan suatu tempat dimana
didalamnya terdapat berbagai fasilitas untuk mempertunjukkan hasil budaya
Betawi. Selain itu terdapat pula sarana pengembangan sehingga budaya Betawi
tetap terjaga. Kebutuhan akan adanya fasilitas tersebut didasari fakta bahwa di
Jakarta sendiri belum memiliki suatu tempat khusus yang ideal untuk
mempertunjukkan hasil kebudayaan Betawi, dimana masyarakat dapat menikmati
berbagai pertunjukkan kesenian Betawi sekaligus mempelajari nilai-nilai budaya
Betawi. Salah satu kriteria lokasi Pusat Budaya adalah berada dekat dengan
pemukiman warga daerah setempat, dimana tujuan dari Pusat Budaya salah satunya
adalah mengembangkan potensi dan mengangkat nilai-nilai budaya yang ada di
masyarakat (The Architect’s Guide to Facility Programming, chapter 11:
Feasibility Program for a Cultural Arts Center, page 198).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar