Jumat, 19 Juli 2013

TELAAH PUSTAKA KAWASAN KONSERFASI BUDAYA BETAWI CONDET


Condet Sebagai Cagar Budaya
Penetapan Condet sebagai salah satu cagar budaya Betawi pertama kali dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1974, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 tentang Penetapan Condet sebagai Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. Kemudian disusul SK Gubernur No D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, gubernur kembali menetapkan Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Keputusan itu berisi penetapan kawasan condet seluas 18.228 hektar sebagai Cagar Budaya Betawi.Alasan dijadikanya Condet sebagai cagar budaya Betawi di Jakarta berawal dari adanya keinginan Pemerintah DKI Jakarta untuk mempertahankan salah satu kantong pertanian di Jakarta Timur.
Untuk menguatkan komitmen pihak pemerintah juga mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain :
1. Penetapan wilayah Condet yang dikembangkan secara terbatas, mengingat sebagai daerah penghasil buah-buahan.
2. Penetapan mempertahankan wilayah Condet sebagai daerah pertanian buah-buahan.
3.  Pengaturan penebangan pohon di wilayah Condet harus seminimal mungkin, dan harus minta izin sebelumnya.
4.  Pelarangan untuk melakukan mutasi tanah, merubah tata guna tanah termasuk memusnahkan tanaman khas Condet yaitu salak, duku dan melinjo.
5. Pelarangan untuk mendirikan bangunan yang melebihi ketentuan koefisien dasar bangunan (RDB) sebesar 20 %.
6. Penetapan bahwa tanaman khas Condet seperti duren Sitokong dan duku serta Salak sebagai barang langka yang harus di jaga dari kepunahan.
Selain itu penetapan Condet sebagai salah satu kawasan cagar budaya Betawi di Jakarta juga berlandaskan pada adanya peraturan dari Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang menyebutkan dalam salah satu pasalnya bahwa warisan budaya merupakan komponen lingkungan yang ingin dipertahankan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya di samping warisan alam. Yang lebih menguatkan dari semua itu adalah adanya rekomendasi dari badan dunia yang banyak melakukan rekonstruksi pada warisan-warisan budaya dunia yaitu Unesco pada tahun 1975.
Dalam rekomendasinya, Unesco meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah guna melindungi kota atau desa yang memiliki nilai-nilai sejarah tinggi termasuk lingkungannya untuk diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat sekarang. Cagar budaya Condet yang dilindungi terdiri dari tiga kelurahan yaitu kelurahan Batu Ampar seluas 255, 025 hektar yang terdiri dari 4 RW dan 39 RT, kelurahan Balekambang seluas 161, 80 hektar yang terdiri dari 3 RW dan 20 RT, dan kelurahan Kampung Tengah seluas 214, 8 hektar yang terdiri dari 5 RW dan 29 RT. Batas-batas wilayah cagar Condet itu sendiri, di sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Cililitan, di sebelah timur sebagian besar berbatasan dengan kelurahan Rambutan, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Gedong, dan sebelah barat dipisahkan dengan kelurahan Pasar Minggu oleh kali Ciliwung. Tiga kelurahan dalam kawasan Cagar Budaya Betawi-Condet tersebut sebagian besar didominasi oleh adanya lahan atau perkebunan buah-buahan dan termasuk daerah jalur hijau.
Berdasar pada kenyataan sejarah ini, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu Ali Sadikin terdorong untuk kembali melestarikan wilayah Condet. Dengan harapan Condet tidak saja menjadi lokasi pelestarian suku Betawi berikut dengan seni tradisinya, tetapi juga bisa menjadi daerah sentra buah-buahan. Tekad Ali Sadikin untuk melestarikan budaya Betawi diwujudkan dengan berbagai program-program nyata yan diharapkan bisa mendukung.
Berbagai sosialisasi mengenai pentingnya melestarikan tradisi budaya, menjaga kawasan hijau di Jakarta, sampai pada adanya perlindungan pada sejumlah bangunan asli Betawi pun dilakukan. Pada masa kepemimpinan Ali Sadikin ini, kawasan Condet termasuk daerah maju, ada anggaran untuk melestarikan budaya Betawi di Condet. Setiap rumah Betawi diberi dana rehabilitasi dan pemeliharaan, terutama lantai dasar sebesar Rp 30.000 per bulan. Namun, itu hanya berlangsung singkat. Sepuluh tahun kemudian, seiring dengan adanya pergantian pemerintahan Ali Sadikin yang digantikan oleh Gubernur Soeprapto muncul lagi Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 323 Tahun 1985 tentang Penyusunan Konsep Pelaksanaan Daerah Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Setelah itu, terbit lagi Instruksi Gubernur No 19/1986 tentang Status Quo Pengembangan Kawasan Condet. Namun, pengembangan itu berjalan lamban. Bahkan, entitas budaya Betawi mulai memudar. Pada periode ini wacana tentang revitalisasi cagar budaya Betawi di Condet pun tidak lebih hanya sekedar slogan pemerintah provinsi semata. Ini terbukti dengan semakin tidak adanya kejelasan kontiunitas kebijakan sebelumnya yang memberikan dana rehabilitasi dan pemeliharaan kepada warga Condet. Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta mengenai pentingnya mempertahankan situs cagar budaya.
Sekitar tahun 2001, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memperhatikan perkembangan budaya Betawi, sebagai budaya asli kota Jakarta. Namun sayang perhatian itu tidak ditujukan untuk merevitalisasi budaya Betawi di kawasan Condet, melainkan menetapkan Kelurahan Srengsengsawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan sebagai Perkampungan Budaya Betawi. Kawasan seluas 289 hektar itu ditetapkan melalui Perda No 3/2005 tentang penetapan perkampungan budaya Betawi. Hingga saat ini perkampungan budaya Betawi itu masih menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta.
Perlindungan Cagar Budaya Betawi-Condet hanya memiliki kekuatan di tingkat perda, tetapi pemerintah provinsi sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk melarang warga menjual tanah milik mereka. Sehingga seiring jaman, pertumbuhan kawasan Condet sulit dikendalikan. Rumah-rumah modern, kios, bengkel,warung, restoran, toko, hingga mini market tumbuh berjamur. Kebun dan kawasan hijau berkurang drastis. Akibatnya, tidak terdengar lagi Condet sebagai penghasil duku dan salak. Kawasan Condet hampir tidak berbeda dengan pemukiman-pemukiman lain. Padat dan hiruk pikuk. Penduduknya pun lebih banyak pendatang ketimbang orang Betawi asli. Sebetulnya kritisnya kawasan ini sudah dideteksi pemprov DKI sejak bertahun-tahun lalu. Sesuai Peraturan Daerah No. 7 tahun 1991, setiap rumah yang dibangun dikawasan khusus seperti Condet, maka bentuk bangunannya harus sesuai dengan ciri khas kawasan. Berhubung sudah terlanjur dan tidak mungkin membuat Cagar Budaya di lokasi yang sama, akhirnya Cagar Budaya Betawi dipindah ke Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jagakarsa.Seiring dengan waktu, makin banyak pendatang masuk ke Condet, termasuk warga keturunan Arab yang hijrah besar-besaran dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat.
Alwi Shahab, penulis dan pemerhati sejarah yang juga keturunan Arab, pernah mengatakan, pada tahun 1950-an sekitar 95 persen penduduk Pekojan masih keturunan Arab. Mereka lalu berpindah tempat ke Condet, juga Jatinegara dan Tanah Abang. Kini, di Condet bahkan menjamur tempat penampungan TKI yang dikelola warga keturunan Arab. Jumlah penduduk Kelurahan Batu Ampar saat ini mencapai 33.582 orang, Kampung Tengah lebih dari 25.000 jiwa, sedangkan penduduk Bale Kambang berjumlah 19.653 jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk Bale Kambang pada tahun 1976 yang hanya 4.564 jiwa , Batu Ampar 9.262 jiwa, dan Kampung Tengah 8.162 jiwa.
Pada awalnya banyak masyarakat yang optimistis Condet bakal menjadi trade mark Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu, Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet kaya akan kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon. Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak.Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon yang "dihinggapi manusia".
Rumah asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang (bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur. Di antara tiga kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka "terlarang" buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus siap-siap bangkrut. 
Untuk menunjang program pelestarian budaya Betawi dibutuhkan suatu tempat dimana didalamnya terdapat berbagai fasilitas untuk mempertunjukkan hasil budaya Betawi. Selain itu terdapat pula sarana pengembangan sehingga budaya Betawi tetap terjaga. Kebutuhan akan adanya fasilitas tersebut didasari fakta bahwa di Jakarta sendiri belum memiliki suatu tempat khusus yang ideal untuk mempertunjukkan hasil kebudayaan Betawi, dimana masyarakat dapat menikmati berbagai pertunjukkan kesenian Betawi sekaligus mempelajari nilai-nilai budaya Betawi. Salah satu kriteria lokasi Pusat Budaya adalah berada dekat dengan pemukiman warga daerah setempat, dimana tujuan dari Pusat Budaya salah satunya adalah mengembangkan potensi dan mengangkat nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat (The Architect’s Guide to Facility Programming, chapter 11: Feasibility Program for a Cultural Arts Center, page 198). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar